Nostalgia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Kita sering terjebak dalam kenangan masa lalu, mengidealkan momen-momen yang telah berlalu, dan merasa bahwa kehidupan terbaik kita berada di belakang, bukan di depan. Fenomena ini begitu umum hingga hampir dianggap wajar, bahkan romantis. Namun, ketika kecenderungan untuk hidup dalam kenangan menjadi pola yang berulang dan mendominasi. Mengapa seseorang memilih untuk terus-menerus kembali ke masa lalu? Apa yang sebenarnya dicari dalam pengulangan kerinduan tersebut?
Apakah mungkin orang yang terus-menerus merindukan masa lalu sebenarnya sedang mencintai lukanya sendiri?
Sigmund Freud, melalui teori-teorinya tentang melankolia, fiksasi, dan konsep secondary gain, memberikan perspektif yang menarik untuk memahami dinamika psikologis di balik nostalgia yang berlebihan. Meskipun Freud tidak secara eksplisit membahas nostalgia sebagai fenomena tersendiri, analisisnya tentang bagaimana individu dapat mempertahankan penderitaan karena memberikan keuntungan psikologis tertentu sangat relevan untuk memahami Nostalgia Trap. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana konsep-konsep psikoanalitik Freud dapat membantu kita memahami mengapa beberapa orang tampak terjebak dalam siklus kerinduan yang tidak produktif, dan bagaimana nostalgia dapat berubah dari emosi yang sehat menjadi mekanisme psikologis yang menghambat.
Perspektif Freudian
Pada era Freud, nostalgia terkadang dipandang sebagai gangguan medis yang nyata. Meskipun Freud sendiri jarang menggunakan istilah nostalgia secara eksplisit, pemikirannya tentang memori, pengulangan, dan fiksasi memberikan kerangka untuk memahami kerinduan yang berlebihan terhadap masa lalu.
Freud dan rekannya Josef Breuer pernah menyatakan bahwa "Histeria terutama disebabkan oleh kenangan." (Studies on Hysteria, 1895). Pernyataan ini tidak merujuk pada kenangan manis, melainkan tentang bagaimana memori yang traumatis atau terepresi dapat menjadi sumber penderitaan mental yang berkelanjutan. Jika seseorang terus-menerus kembali ke kenangan pahit atau mengidealkan masa lalu yang tidak realistis, hal itu bisa menjadi penghalang serius bagi adaptasi terhadap realitas saat ini.
Mourning and Melancholia
Dalam karyanya yang terkenal, Mourning and Melancholia (1917), Freud membedakan antara dua reaksi terhadap kehilangan yang sangat relevan untuk memahami nostalgia patologis, yaitu:
Mourning (duka)
Proses normal dan sehat, dimana individu secara bertahap melepaskan keterikatannya terhadap objek yang hilang (baik orang, tempat, masa, atau harapan). Ini adalah proses kesedihan yang meski menyakitkan, tetap memungkinkan individu untuk kembali menjalani hidup secara fungsional.
Melancholia (melankolia)
Bentuk kehilangan yang bersifat patologis, dimana individu gagal melepaskan objek yang hilang, dan malah mengidentifikasi ego-nya dengan objek tersebut. Yang menarik dari melankolia menurut Freud adalah bahwa rasa kehilangan tidak diarahkan keluar (ke objek yang hilang), tetapi malah ditarik ke dalam, menjadi semacam self-reproach (tuduhan terhadap diri sendiri), kritik diri ekstrem, atau bahkan penghinaan diri yang tidak selalu disadari. Freud menyebutnya sebagai:
“the shadow of the object fell upon the ego.”
Dengan kata lain, kehilangan itu tidak hanya ditangisi, tetapi diinternalisasi. Orang tersebut menjadi kehilangan itu.
Dalam konteks kerinduan terhadap masa lalu, ini bisa dimaknai bahwa seseorang tidak hanya merindukan masa lalu, tapi telah membiarkan identitasnya dibentuk oleh masa lalu itu, termasuk luka-luka yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak sekadar berduka, tapi telah meleburkan dirinya dalam kenangan, bahkan dalam penderitaan.
Melankolia bisa juga menciptakan konflik batin yang laten, dimana seseorang merasa kehilangan sesuatu yang sangat berarti, namun tidak bisa mengartikulasikan secara jelas apa yang hilang. Misalnya, kerinduan terhadap masa kecil (padahal bukan masa kecil yang dirindukan, melainkan rasa aman yang pernah ada) atau nostalgia terhadap hubungan yang telah berakhir (bukan karena cinta yang masih ada, melainkan karena identitas diri yang terbentuk di dalam hubungan itu belum tergantikan) dan lain sebagainya.
Melankolia bukan hanya tentang kesedihan, tetapi tentang ketidakmampuan untuk melepaskan. Dan di sinilah kita mulai melihat keterkaitan antara melankolia, nostalgia, dan repetition compulsion, dimana seseorang secara tak sadar kembali ke pola lama, ke luka lama, karena belum selesai menguburnya.
Terjebak di Masa Lalu
Freud juga memperkenalkan dua mekanisme psikologis yang sangat relevan untuk memahami mengapa seseorang bisa terjebak dalam nostalgia, yaitu fiksasi dan regresi. Fiksasi (Fixation) adalah ketika sebagian diri kita tertahan di suatu tahap perkembangan emosional atau relasi, biasanya karena kebutuhan atau konflik yang belum terselesaikan.
Dalam fiksasi, seseorang bisa tampak dewasa secara usia, tapi emosinya masih terikat pada pengalaman lama seperti pola cinta yang selalu penuh drama, ketakutan ditinggalkan, atau terus mencari validasi seperti saat kecil dulu. Ini bukan karena seseorang tidak ingin berubah, tapi karena jiwanya belum selesai dengan fase itu.
Selain fiksasi, Freud juga menjelaskan mekanisme Regresi (Regression), yakni sebuah proses dimana individu mundur ke tahap perkembangan sebelumnya sebagai cara bertahan terhadap tekanan emosional.
Seseorang yang merindukan masa lalu secara berlebihan (misalnya, masa kanak-kanak yang ideal) mungkin mengalami regresi psikologis. Mereka secara tidak sadar ingin kembali ke situasi dimana mereka merasa aman, dicintai, atau bebas dari tanggung jawab.
Jika kecenderungan fiksasi dan regresi ini terlalu dominan, nostalgia berubah menjadi perilaku maladaptif. Alih-alih menjadi cara sehat mengatasi tekanan hidup, kenangan justru menjadi tempat persembunyian dari tuntutan kehidupan dewasa.
Secondary Gain
Salah satu konsep Freud yang paling kontroversial namun sangat relevan adalah Secondary Gain. Keuntungan psikologis atau sosial yang diperoleh seseorang secara tidak sadar dari kondisi patologis yang dialaminya. Dalam konteks nostalgia berlebihan, ada beberapa keuntungan tersembunyi yang mungkin membuat seseorang secara tidak sadar mempertahankan pola ini.
Seseorang yang menderita mungkin menerima perhatian lebih dari orang lain, yang secara tidak sadar menguatkan perilaku tersebut. Mereka menjadi karakter tragis yang menarik empati, dan tanpa sadar menikmati peran ini karena memberikan validasi emosional yang sulit didapat dengan cara lain. Selain itu, kerinduan akan masa lalu yang berlebihan juga dapat menjadi cara untuk menghindari tanggung jawab. Kondisi seperti ini sering dijadikan sebagai alasan untuk menghindari pekerjaan, tanggung jawab sosial, atau situasi yang menekan. Yang lebih kompleks lagi, bagi sebagian orang, identitas mereka terjalin erat dengan penderitaan atau kenangan masa lalu mereka. Melepaskan hal tersebut terasa seperti kehilangan sebagian dari diri mereka, sehingga mereka secara tidak sadar mempertahankan kondisi tersebut untuk menjaga sense of self yang familiar.
Konsep Secondary Gain menjelaskan mengapa seseorang bisa mencintai lukanya sendiri bukan karena mereka menikmati penderitaan itu sendiri, tetapi karena penderitaan itu memberikan keuntungan yang sulit didapat dengan cara lain. Ini adalah inti dari resistensi dalam terapi psikoanalitik, di mana pasien secara tidak sadar menolak untuk sembuh karena kesembuhan berarti kehilangan keuntungan sekunder.
- Apakah nostalgia Anda memberikan alasan untuk menghindari tantangan baru?
- Apakah cerita tentang masa lalu yang lebih baik membuat Anda mendapat perhatian khusus?
- Apakah identitas Anda terlalu bergantung pada pengalaman masa lalu?
Repetition Compulsion
Konsep terakhir yang sangat penting untuk memahami Nostalgia Trap adalah Repetition Compulsion. Dorongan bawah sadar untuk mengulang pengalaman yang menyakitkan, bukan untuk dinikmati, tetapi karena ada kebutuhan tak sadar untuk menguasainya.
Dalam psikologi modern, nostalgia sering dianggap sebagai emosi yang kompleks. Ia bisa memperkuat hubungan sosial, meningkatkan suasana hati, memberi makna hidup, bahkan membantu seseorang merasa lebih terhubung dengan identitasnya.
Namun, jika nostalgia menjadi kompulsif, menghambat fungsi di masa kini, atau digunakan sebagai mekanisme penghindaran dari realitas yang sulit, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai perilaku maladaptif. Dalam kerangka pemikiran Freud, perilaku semacam ini mungkin memiliki akar dalam konflik bawah sadar atau keuntungan tersembunyi yang membuat seseorang secara tidak sadar mencintai atau berpegangan pada kondisi yang tidak sehat.
Orang yang selalu kembali pada kenangan traumatis, atau terus membangun situasi emosional yang serupa dengan luka lamanya, mungkin sedang terjebak dalam siklus ini. Ia tidak bisa melepaskan masa lalu, karena pola itu sudah terlalu akrab dan karena luka itu memberi rasa identitas, bahkan kenyamanan tersembunyi.
Freud mengobservasi bahwa trauma tidak hanya diingat tetapi juga diulang. Seseorang yang mengalami pengalaman traumatis cenderung menciptakan situasi serupa secara berulang, bukan karena mereka masokis, tetapi karena ada kebutuhan psikologis untuk menyelesaikan sesuatu yang belum tuntas. Misalnya, seseorang yang selalu memilih partner dengan pola toxic yang sama, atau terus kembali ke tempat-tempat yang memicu kenangan menyakitkan.
Repetition compulsion terjadi karena jiwa manusia memiliki kebutuhan untuk menyelesaikan pengalaman yang tidak lengkap. Ketika sesuatu berakhir tanpa closure atau pemahaman yang memadai, pikiran bawah sadar terus mengulang situasi itu dalam berbagai bentuk, berharap kali ini akan berbeda.
Kita tidak hanya merindukan masa lalu, tetapi mencoba memperbaiki masa lalu melalui pengulangan. Kita berharap dengan terus kembali, kita bisa mendapat understanding atau closure yang belum tercapai atau kita berharap bisa mengubah ending dari cerita yang sudah berakhir.
Memahami repetition compulsion adalah langkah pertama untuk keluar dari nostalgia trap. Ketika seseorang menyadari bahwa mereka tidak hanya merindukan tetapi mengulang, mereka bisa mulai bertanya:
- Apa yang sebenarnya belum selesai dari pengalaman itu?
- Apa yang ingin saya perbaiki atau ubah dari masa lalu?
- Bagaimana saya bisa mendapatkan closure tanpa terus mengulang pola yang sama?

Freud memberikan kita lensa yang kuat untuk memahami mengapa beberapa orang tampak mencintai luka mereka sendiri melalui nostalgia yang berlebihan. Melalui konsep melankolia, fiksasi, secondary gain, dan repetition compulsion, kita bisa melihat bahwa nostalgia patologis bukan hanya tentang merindukan masa lalu, tetapi tentang pola psikologis yang belum selesai.
Kesadaran adalah langkah pertama
Memahami bahwa nostalgia bisa menjadi mekanisme bertahan yang tidak sehat memungkinkan kita untuk:
- Mengidentifikasi apa yang sebenarnya kita rindukan, bukan peristiwa atau tokohnya, tetapi perasaan atau kebutuhan di baliknya.
- Mencari cara memenuhi kebutuhan itu di masa kini, tanpa harus kembali ke masa lalu.
- Memberikan closure pada pengalaman yang belum selesai, melalui refleksi, terapi, atau ritual pelepasan.
- Membangun identitas yang tidak bergantung pada masa lalu, berbasis pada potensi dan pilihan saat ini.
Ketika seseorang terus kembali pada kenangan yang menyakitkan, menciptakan ulang situasi emosional yang serupa, atau tidak bisa melepaskan pola yang merugikan, kita patut bertanya Apakah ini nostalgia sebagai bentuk pemaknaan hidup? Atau justru nostalgia sebagai mekanisme pertahanan terhadap realitas yang tidak diinginkan?
Memahami bahwa tidak semua nostalgia adalah pelarian, dan tidak semua nostalgia adalah kebijaksanaan, membantu kita mengenali posisi kita. Terkadang kita memang sedang mencintai luka kita sendiri, bukan karena ingin terus terluka, tetapi karena luka itu telah menjadi bagian dari siapa diri kita.
Mengenang masa lalu bisa menjadi kekuatan atau jebakan, tergantung dari kesadaran kita. Apakah kita ingin mengulangnya karena belum selesai? Atau kita mengenang karena sudah berdamai? Karena nostalgia yang sehat lahir dari pemahaman, bukan dari penghindaran. Ia bukan untuk kembali, tapi untuk melangkah maju dengan lebih utuh.