Skip to content
Banner

IntonesiaBlog

✍️ Ardi Syah | πŸ“… February 20, 2025
πŸ•› 0 menit 0 detik read | ⏳ 0 words

Hero Blog

Jangan Banyak Tanya!
Ikuti Saja.

Begini Cara Bertahan di Indonesia.

Manut Saja ​

Menjadi orang yang iya-iya saja di Indonesia jauh lebih mudah. Percaya pada ilmu pengetahuan bukan hanya sulit, tapi juga bisa menjadi beban. Di sini, mempertanyakan sesuatu berarti mengancam keteraturan. Berpikir kritis bisa membuatmu dijauhi, dicap sok tahu, atau bahkan dianggap tidak menghormati tradisi dan otoritas.

Negara ini birokratis hingga ke akar-akarnya. Jabatan berarti Kuasa, Kuasa berarti Kehormatan, dan kita dipaksa menelannya mentah-mentah demi hidup normal.

Yang ironisnya lagi, banyak orang setuju bahwa Pendidikan itu penting. Namun, ketika pendidikan menghasilkan individu yang berpikir kritis dan berani berbeda, reaksi yang diterima sering kali seperti ini:

Hero Blog

πŸ™ŽπŸ»β€β™€οΈ "Wah, sudah pintar sekarang, jadi sudah nggak butuh nasihat orang tua?"

🀷🏻 "Ini realita, mau belajar seperti apa pun, kondisi ini nggak bakal berubah."

πŸ™…πŸ»β€β™‚οΈ "Saya sudah mengalami, kamu masih muda, nggak tahu apa-apa."

Masa Depan Sudah Digariskan ​

Di Indonesia, jalan hidup sudah diatur. Tujuan hidup bukan soal passion atau ketenteraman jiwa, melainkan penerimaan sosial. Jangan terlalu banyak berpikir soal idealisme politik, hak kelompok marginal, atau pemberdayaan masyarakat.

Hero Blog

Cukup berdoa dan bersedekah saja! 🧘🏻

Kita iya-iya saja menerima dogma bahwa depresi berarti kurang ibadah. Kita membiarkan anak jalanan tetap di jalanan dengan sekadar memberikan recehan di lampu merah. Kita diam ketika pemerintah menyalahgunakan pajak, tetapi mencemooh buruh yang berdemo menuntut haknya. Kita tak berbuat apa-apa ketika korban kekerasan disalahkan hanya karena pakaiannya mereka dianggap tidak cukup tertutup. Akibatnya, kebenaran baru bisa ditegakkan setelah viral saja.

Krisis Nalar ​

Menjadi seseorang yang percaya pada ilmu pengetahuan di negeri ini berarti siap menanggung beban kesepian. Karena orang-orang akan mempertanyakan dan meragukanmu. Mereka akan menganggapmu aneh karena lebih memilih fakta daripada tradisi, lebih memilih logika daripada mitos, lebih memilih jadi skeptis daripada tunduk.

Tan Malaka menyebut logika mistika sebagai tradisi berpikir feodal, warisan sistem yang menjauhkan masyarakat dari sikap kritis. Feodalisme menempatkan kuasa dan pengetahuan di tangan segelintir orang, sementara rakyat hanya bisa tunduk, pasif, dan mudah dikendalikan.

Revolusi Berpikir ​

Meskipun telah merdeka dari penjajahan fisik, kita masih terjajah dalam cara berpikir. Kita masih tunduk pada otoritas tanpa mempertanyakan kebenarannya. Kita masih gemar mengandalkan Orang Pintar.

Mungkin dukun sudah sedikit, tapi mereka menjelma jadi influencer, abang-abangan, penjual agama, atau semua yang menjual solusi instan untuk menyelesaikan masalah yang bisa diselesaikan dengan skeptisme, logika, dan ilmu pengetahuan.

Jika kita terus pasif dan iya-iya saja, maka masyarakat yang terjebak dalam logika mistika akan melahirkan pemerintah dengan cara berpikir serupa. Contohnya? Anggaran riset dan anggaran pendidikan, yang lebih kecil daripada biaya rapat DPR di hotel-hotel. Akademisi dikecilkan karena dianggap tidak sesuai realita, sementara paranormal tetap dipercaya lebih dari ilmu.

Tapi haruskah kita menyerah? Tidak. Revolusi berpikir adalah awal dari revolusi yang sesungguhnya. Kita harus terus mempertanyakan, meski lelah. Kita harus terus mencari kebenaran, meski sedikit kesepian.


Karena satu-satunya jalan untuk benar-benar merdeka adalah membebaskan diri dari belenggu pola pikir yang menekan kita sejak lahir. Dan kebebasan itu harus diperjuangkan. Dengan pikiran, dengan kata-kata, dengan keberanian untuk tidak lagi tunduk.